
Mendidik Banyak Pemain Muda Menjadi Pemain Top Dunia
Di Utara Perancis, sekitar setengah jam dari Paris, terdapat sebuah akademi sepak bola di Perancis. Terbenam di dalam hutan Rambouillet, terdapat Institut National du Football de Clairefontaine atau INF Clairefontaine. Clairefontaine adalah satu dari 12 akademi sepak bola elite di Perancis yang diawasi oleh FFF (France Football Federation). Sebelas lainnya terdapat di Castelmaurou, Chateauroux, Dijon, Guadeloupe, Lievin, Marseille, Ploufragan, Reunion, Saint-Sebastien-sur-Loire, Talence, dan Vichy- Reims.
Clairefontaine menghasilkan banyak pemain sepak bola yang hebat secara teknik dan taktik. Sebagai contoh, pemain seperti Thierry Henry, Louis Saha, Mehdi Benatia, Nicolas Anelka, William Gallas, Hatem Ben Arfa, Abou Diaby, Olivier Giroud, Blaise Matuidi, dan salah satu bintang sepak bola dunia saat ini Kylian Mbappe. Sayangnya, kebanyakan pemain top asal Perancis lebih suka bermain di luar Perancis karena uang dan gengsi yang lebih mewah. Maka dari itu, tidak heran Ligue 1 Perancis sering disebut sebagai Liga Petani.
Piala Dunia 2018 kemarin ada 50 pemain yang lahir di Perancis dan tersebar membela banyak negara. Angka tersebut semakin menguatkan bahwa Perancis adalah salah satu negara ‘pabrikan’ sepak bola terbaik di dunia. Pertanyaan selanjutnya adalah: bagaimana konsep pengembangan pemain sepak bola di Perancis? Bagaimana negara tersebut terus menghasilkan pemain yang secara teknik, taktik, dan fisik hebat di dunia ini? Dengan konsep yang cukup sederhana, ternyata Perancis mengembangkan bakat individu setiap pemain.
Awal mula berdirinya Clairefontaine berasal dari buruknya prestasi tim nasional Perancis di dunia internasional. Presiden federasi sepak bola Perancis kala itu di tahun 1976, Fernand Sastre berhasrat untuk membangun tempat pemusatan latihan sepak bola. Proyek pembangunan pusat pelatihan itu diinisiasi oleh manajer tim nasional Perancis kala itu, Stefan Kovacs. Kovacs yang berasal dari Rumania terinspirasi dari pusat pelatihan komunis di negaranya kala itu yang berintisari pada kekuatan individu yang baik akan membuat keunggulan secara kolektif.
Enam tahun kemudian (1982), FFF menentukan daerah Clairefontaine-en-Yvelines sebagai tempat pembangunan proyek tersebut. Pembangunan dimulai sejak tahun 1985 sampai 1988. Peresmian tempat tersebut diadakan pada Januari 1988. Selama Piala Dunia 1998 di mana Perancis menjadi tuan rumah, Clairefontaine menjadi markas Perancis selama turnamen. Di tahun yang sama, FFF mengubah nama Clairefontaine menjadi Fernand Sastre untuk memberikan penghormatan. Sebuah patung juga dipajang di daerah tersebut pada tahun 2000.
Clairefontaine adalah akademi regional di daerah sub-urban Paris. Anak-anak berusia 13 sampai 15 tahun diperbolehkan mengikuti program yang mana 23 pemain akan dipilih setiap musimnya. Para pemain akan menetap di Clairefontaine sehari-hari dan kembali ke daerah asalnya pada akhir pekan untuk bermain di tim lokal mereka. Filosofi Clairefontaine dimulai dari kesempurnaan teknik individu; bergerak secara cepat, memperkuat kaki terlemah, dan pengambilan keputusan di lapangan. Murid-murid ini akan dilatih secara spesifik dan teratur sebelum mereka bermain 11 lawan 11 sungguhan.
Filosofi Bermain Perancis adalah Mendidik Pemain Usia Muda
Sepak bola Perancis dikenal tidak terlalu mementingkan filosofi bermain dan lebih mengutamakan pengembangan individu. Meskipun begitu, semua tim sepak bola usia muda Perancis memainkan formasi 4-3-3 dan berusaha mengoptimalkan kemampuan individu setiap pemain. Jean-Claude Lefargue selaku direktur program Clairefontaine berkata kepada The Telegraph di tahun 2018 bahwa banyak pelatih di Perancis mulai memahami filosofi Clairefontaine ini: “Semua pelatih professional berasal dari Clairefontaine. Selama bertahun-tahun, kami berhasil meyakinkan mereka akan filosofi ini, tentang apa yang harus mereka temukan dalam diri seorang pemain. Kemudian, kami terus menyebarkan filosofi ini ke seluruh Perancis. Membutuhkan waktu yang cukup lama untuk meyakinkan para pelatih, untuk melatih para pelatih, tapi sedikit demi sedikit mereka mulai memahami.”
Tim nasional Perancis selalu bermain dengan gaya berbeda dalam 30 tahun terakhir. Bukti nyata bisa dilihat ketika mereka menjuarai Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000. Perancis tahun 1998 bermain sangat berhati-hati dan kuat dalam bertahan. Pertahanan mereka diisi oleh Lilian Thuram, Marcel Desailly, Laurent Blanc, dan Bixente Lizarazu. Penyerang mereka (Stephane Guivarc’h) pun tidak mencetak gol sama sekali sepanjang turnamen. Lini serang mereka lebih mengandalkan kehebatan Zinedine Zidane. Dua tahun kemudian, Nicolas Anelka dan Thierry Henry selaku lulusan Clairefontaine memimpin lini serang Perancis dengan kecepatan, kekuatan, dan teknik yang luar biasa. Dalam kurun 2 tahun tersebut, Perancis berhasil membawa pulang piala sang juara.
Jika dibandingkan dengan sepak bola Belanda atau Italia, tidak ada yang namanya filosofi sepak bola Perancis. Melainkan, Perancis menciptakan banyak pemain yang secara teknik bagus, cepat, kuat, dan cerdas secara taktik. Michael Cox menulis di bukunya Zonal Marking: “Sepakbola Prancis sesudah perang dunia secara efektif adalah pertarungan antara dua ideologi yang kontras, satu yang menyukai fisik dan kerja keras, dan yang lainnya menekankan pada teknik dan gaya.” Contoh nyata dari hal tersebut adalah Paul Pogba dan N’Golo Kante di Piala Dunia 2018. Mereka berdua bermain bersebalahan dalam posisi gelandang tengah dan berhasil menciptakan harmoni dalam permainan.
Model Clairefontaine saat ini sudah ditiru di seluruh dunia. Bahkan, La Masia datang untuk studi banding. Lefargue dengan bangga menyatakan: “La Masia datang ke sini dulu sekali. Kami punya filosofi yang sama. Tidak sepenuhnya tentang umpan, melainkan bekerja untuk kolektif.” Di Inggris juga punya yang serupa, yaitu St George’s Park. Komplek latihan St George’s Park sudah mulai menghasilkan banyak pemain-pemain muda berbakat yang siap untuk bersaing di kancah yang lebih tinggi. Dengan Perancis yang tidak henti-hentinya menghasilkan talenta-talenta berbakat di sepak bola, bukan tidak mungkin kita akan menyaksikan Perancis lebih sering mengangkat piala di ajang internasional.

Pingback: Deretan Pemain Hebat Ligue 1 Perancis yang Siap Pergi Musim Depan
Pingback: Deretan Pemain Hebat Ligue 1 Perancis yang Siap Pergi Musim Ini
Pingback: UEFA Nations League dan Pengaruhnya Kepada Kualifikasi Piala Dunia
Pingback: Michel Der Zakarian dan Teji Savanier: Faktor Kebangkitan Montpellier
Pingback: Lille vs Lyon: Duel Seru Skuad Penuh Talenta di Ligue 1 Perancis
Pingback: RB Leipzig vs PSG: Ulangan Semifinal Champions League Musim Lalu
Pingback: Stade Rennes: Mencoba Mendobrak Dominasi PSG di Perancis
Pingback: Boulaye Dia Top Skor Sementara Ligue 1
Pingback: Eduardo Camavinga Gagal Gabung Real Madrid
Pingback: Marseille Bisa Perbesar Peluang Juara Ligue 1
Pingback: Ajax Salah Satu Akademi Terbaik di Dunia
Pingback: Perancis Penghasil Pemain Sepak Bola Terbanyak di Piala Dunia
Pingback: Andalan Baru Lyon Bernama Tino Kadewere
Pingback: 5 Alasan Barcelona akan Menang dan Menyingkirkan Paris Saint-Germain
Pingback: Alasan Karim Benzema Tidak Dipanggil ke Tim Nasional Perancis
Pingback: Tanpa Lewandowski, Bisakah Neymar dan Mbappe Hancurkan Bayern?
Pingback: Babak Baru Raymond Domenech Sebagai Manajer FC Nantes
Pingback: Juara Liga Prancis Musim 2020-2021 Antara Lille, PSG, Monaco dan Lyon