Preambul: Juventus & Final Liga Champions
Jika berbicara Juventus dengan Final Liga Champions rasanya para Juventini akan mengerutkan dahi mereka semua.
Bagaimana tidak, kisah pilu dan pahit selalu mereka rasakan ketika klub kebanggaan asal Turin itu bermain di panggung akbar Eropa.
Kisah tersebut layaknya peribahasa “jauh panggang dari api”, yaitu selalu meleset dan tidak sesuai harapan.
Kita semua tahu, Juventus adalah salah satu klub raksasa di Liga Italia bahkan namanya juga harum di Eropa.
Peraih 36 gelar scudetto ini adalah salah satu klub tersukses di kompetisi antar klub benua biru itu.
⚪️⚫️ Great Champions League goals by Juventus!
🤔 Favourite?#UCL | #MondayMotivation | @juventusfcen pic.twitter.com/M2HeJjWlne
— UEFA Champions League (@ChampionsLeague) November 2, 2020
Bagaimana tidak, Juventus adalah salah satu klub dengan raihan terbanyak bermain di partai puncak kompetisi elite Eropa itu.
Total Juventus bermain sebanyak 9 kali di Final Champions League atau tepatnya pertama kali pada musim 1972-1973.
Saat pertama kali bermain di Final Liga Champions, kala itu kompetisi Liga Champions masih bernama Piala Champions dengan format lama.
Musim-musim di mana kejayaan Juventus tidak hanya mengaung di seantero negeri pizza, tapi mereka tancapkan di panggung akbar Eropa.
Juventus dan 7 kekalahan Champions League (1/2)
Bianconeri pertama kali bermain di partai puncak Liga Champions adalah saat musim 1972-1973 melawan Ajax Amsterdam.
Saat itu, Liga Champions masih bernama Piala Champions (perubahan nama serta format terjadi pada musim 1992-1993)
Pertama kali dalam sejarah bermain di partai final akbar, tidak membuat Dino Zoff dan kawan-kawan gugup, sebaliknya mereka sangat semangat.
Akan tetapi, mereka harus sadar, lawan yang mereka hadapi saat itu adalah jawara Belanda dan Eropa dengan permainan total voetbal.
Baru berjalan 5 menit, pemain sayap lincah Ajax Amsterdam, Johnny Rep sudah membuat tim kebangaan Amsterdam tersebut unggul.
Tertinggal 1 gol, Fabio Capello dan kawan-kawan mencoba bangkit di sisa pertandingan.
Sayangnya, usaha itu gagal, Johan Cruijff cs berhasil menggondol piala ‘Si Kuping Lebar’ untuk ketiga kalinya untuk Ajax.
Final selanjutnya bagi ‘Si Nyonya Tua’ adalah pada Piala Champions musim 1982/1983.
Juventus yang sedang digdaya-digdayanya di kompetisi lokal serta Eropa kembali menancapkan kuku di panggung elite Eropa.
Sayang, final kedua bagi La Vecchia Signora berjalan anti-klimaks saat itu.
Menurunkan skuad terbaiknya termasuk Paolo Rossi dan Michel Platini, Juventus harus mengakui keunggulan permainan HSV Hamburg.
Final yang berlangsung pada 25 mei 1983 itu akhirnya berhasil dimenangkan oleh sang wakil Jerman, Hamburg 0-1 di Olympic Stadium, Athena.
Memasuki, era 1990-an, Juventus tumbuh menjadi tim besar yang haus akan gelar juara.
Mereka menjadi tim kuat dan bahkan masa-masa 90an adalah masa terbaik mereka dalam percaturan sepakbola khususnya di Eropa.
Dalam format terbaru kompetisi kasta tertinggi antarklub di benua biru ini, Juventus mengalami masa terbaik di medio 90-an.
⏪ Ajax v Juventus
📅 22 May 1996
🏟️ Olimpico in Rome#TBT #ThrowbackThursday pic.twitter.com/ldjQKyi9Wq
— UEFA Champions League (@ChampionsLeague) April 4, 2019
Hal yang lebih parah lagi, itu semua hadir dalam dua musim berturut-turut.
Tim raksasa Turin kali ini dipimpin oleh anak muda berbakat nan potensial bernama Alessandro Del Piero.
Seorang penyerang haus gol, kapten sekaligus inspirator permainan ‘Si Nyonya Tua’.
Setelah berhasil balas dendam atas Ajax Amsterdam dalam final di Roma pada musim 1996, mimpi buruk kembali hadir.
Juventus dan 7 kekalahan Champions League (2/2)
Mimpi buruk selanjutnya adalah ketika Angelo Peruzzi cs kalah dari wakil Jerman, BVB Dortmund 3-1.
Penyerang Dortmund berkebangsaan Jerman, Karl-Heinz Riedle menjadi mimpi buruk Juventus dengan brace cantiknya.
Plus satu gol tambahan dari Lars Ricken yang menambah derita Super-Juve.
Alessandro Del Piero yang berhasil mencetak satu gol dan memperkecil ketertinggalan saat itu tidak bisa berbuat lebih.
Juventus kembali keluar menjadi runner-up di Liga Champions untuk ketiga kalinya.
Tidak berhenti di situ, satu musim berselang, Juventus kembali lolos ke babak final UCL 1997/1998.
Lagi-lagi, Alessandro Del Piero dan kawan-kawan harus menelan pil pahit setelah Real Madrid membungkam Juventus 0-1.
Adalah gol Predrag Mijatovic pada menit ke-66 yang menjadi pembeda dalam laga yang berjalan di Amsterdam Arena, Belanda.
Kekalahan dua kali dalam dua tahun berturut-turut menjadi salah satu sejarah hitam untuk anak asuh Marcello Lippi kala itu.
Menuju medio 2000-an, Juventus kembali mencapai babak final Liga Champions atau tepatnya musim 2002/2003.
Sepanjang musim, bintang-bintang seperti David Trezeguet, Pavel Nedved, Mauro Camoranesi dan tentu saja Del Piero, terbilang gemilang.
Kehebatan itu termasuk ketika mengalahkan dua wakil Spanyol di babak 8 besar serta semifinal, Barcelona dan Real Madrid.
Pada babak final yang berlangsung di Old Trafford, Manchester, Tim Hitam-Putih harus mengakui keunggulan AC Milan di babak tos-tosan, adu penalti.
Padahal, sebelum laga final, Juventus sempat diunggulkan menjadi juara di final tersebut.
Ketidakhadiran Pavel Nedved (akumulasi kartu) menjadi salah satu penyebab permainan Bianconeri tidak optimal dalam final tersebut.
Bahkan, memasuki medio 2010-an, Juventus juga harus kembali menelan kekalahan di laga pamungkas Liga Champions.
Adalah Barcelona dan Real Madrid yang mengubur mimpi Juventus untuk melepas dahaga tidak menjuarai ‘Si Kuping Lebar’.
Barcelona mengalahkan Juventus 3-1 di Olympiastadion Berlin pada musim 2015, Real Madrid menyusul selang dua musim berikut.
Sergio Ramos cs sukses ‘mengubur’ Gianluigi Buffon dan tim dengan skor 4-1 di laga final yang berlangsung di Glasgow, Skotlandia.
Berkat itu, Juventus menjadi tim Eropa dengan status runner-up Champions League terbanyak dengan 7 kali, dengan Bayern Munich dan Benfica menyusul di bawahnya dengan 5.