
UEFA Champions League musim Perdana
Seusai PSG kalah di final Champions League musim lalu oleh Bayern Munich, Dimitri Payet langsung meledek klub asal ibu kota tersebut.
Pemain Marseille tersebut gembira karena klubnya adalah satu-satunya yang pernah menjuarai UCL dari Perancis.
Biasanya, sesaat setelah juara Champions League, klub tersebut langsung fokus di kasta tertinggi di liga, bukan berkutat di kasta kedua.
Kenyataannya, Marseille harus terdegradasi dari kasta tertinggi usai menjuarai Champions League.

Peluit Panjang menyajikan kisah dari selatan Perancis.
Pada musim 1992-1993, kejuaraan klub antar Eropa dengan format UEFA Champions League baru memulai edisi perdana.
Saat itu, perwakilan juara liga dari 36 negara harus mengikuti 2 leg di 2 babak pra-kualifikasi untuk bisa bergabung ke babak grup.
Delapan tim yang lolos babak pra-kualifikasi langsung bergabung dengan Grup A dan Grup B.
Grup A diisi oleh Marseille, Rangers, Club Brugge dan CSKA Moscow.
Grup B diisi oleh AC Milan, IFK Goteborg, Porto dan PSV Eindhoven.
Juara masing-masing grup langsung masuk ke final, di mana Marseille dan Milan berhasil melaju ke pertandingan pamungkas.
Baca juga: INF Clairefontaine: Akademi Sepak Bola Terbaik di Perancis
Marseille Kalahkan AC Milan 1-0 Melalui Pertarungan Sengit di Jerman
Tanggal 26 Mei 1993 di Olympiastadion, Munich, Jerman, pertandingan final antara Olympique Marseille melawan AC Milan digelar.
Susunan pemain Marseille: (1-4-2-3) Fabien Barthez; Basile Boli; Jean-Jacques Eydelie, Jocelyn Angloma, Marcel Desailly, Éric Di Meco; Franck Sauzée, Didier Deschamps (c); Abedi Pele, Alen Bokšić, Rudi Völler.
Tim asal Perancis ini turun dengan kekuatan penuh.
Manajer Marseille saat itu adalah Raymond Goethals asal Belgia.

Susunan pemain AC Milan (4-4-2): Sebastiano Rossi; Mauro Tassotti, Alessandro Costacurta, Franco Baresi (c), Paolo Maldini; Roberto Donadoni, Demetrio Albertini, Frank Rijkaard, Gianluigi Lentini; Marco van Basten, Daniele Massaro.
Jean-Pierre Papin, mantan pemain Marseille terpaksa bermain dari bangku cadangan karena cedera yang dialaminya.
Manajer Marseille saat itu adalah Fabio Capello asal Italia.
Pertandingan berjalan dengan dominasi AC Milan atas Marseille.
Berkali-kali peluang dari van Basten, Maldini, Rijkaard, Donadoni dan kawan-kawan berhasil dimentahkan oleh penampilan gemilang Barthez.
Dengan penuh perjuangan, sweeper Marseille, Basile Boli berhasil mencetak gol sundulan kepala memanfaatkan umpan sepak pojok Abedi Pele di menit 43.
“Kami tidak terlalu puas ketika aku mencetak gol karena kami tahu kami tidak mendominasi pertandingan” kata Boli tahun 2019.
Turunnya Papin di babak kedua memaksa Desailly, Deschamps dan seluruh punggawa Marseille lebih fokus untuk menjaganya.
Papin terus mengancam pertahanan lawan Marseille.
Di Meco sampai harus memecah fokusnya dengan berkata “sudahlah, tidak usah terlalu berusaha, ini final untuk kami” kepada Papin.
“45 menit terasa seperti 45 tahun. 100 menit terasa seperti 100 tahun” kenang Boli.
Akhirnya, peluit panjang ditiup tanda Marseille menjadi juara UCL pertama dan satu-satunya sejauh ini dari wakil Perancis.
Penggemar Marseille yang menonton di Munich maupun di Marseille berpesta pora sampai pagi hari.
Senyum dan tangis haru terlihat jelas dari para punggawa Marseille.
Sejarah gemilang baru saja mereka ukir.
Pertandingan Melawan Valenciennes yang Mengubah Segalanya
Pada pertandingan terakhir di Ligue 1, Marseille yang saat itu bersaing menjuarai Ligue 1 harus berhadapan dengan Valenciennes pada 20 Mei 1993 di matchday 36.
Pertandingan berakhir dengan skor 1-0 untuk kemenangan Marseille.
Kurang dari seminggu menuju laga final Champions League, tentunya penting menjaga fisik dan psikis para pemain.
Pasalnya, Marseille kalah di final European Cup tahun 1991 oleh Red Star Belgrade di babak adu penalti (5-3) setelah pertandingan berakhir imbang 0-0.
Banyak pemain inti Marseille yang cedera saat itu.
Bernard Tapie, pemilik Marseille kala itu (1986-1994) tidak ingin kekalahan di final seperti itu terulang kembali.
Meskipun Marseille sudah juara liga 4 kali berturut-turut, Tapie tetap tidak ingin memberikan celah kegagalan.
Tuduhan bermula ketika gelandang Valenciennes, Christophe Robert mengklaim pemain Marseille, Jean-Jacques Eydelie dan General Manager, Jean-Pierre Barnes menawarkannya 250,000 francs untuk mengalah.

Bukti berupa amplop berisikan uang tersebut ditemukan di halaman rumah bibi dari Robert.
Jacques Glassmann dan Jorge Burruchaga dari Valenciennes juga ditawarkan nominal serupa.
Robert dikeluarkan dari pertandingan melawan Marseille di menit 23 dengan dugaan cedera.
Burruchaga yang dikenal sebagai pemain yang gemar protes mendadak kalem ketika melawan Marseille.
Glassmann terlihat lebih bersemangat kala itu dengan berlarian ke seluruh penjuru lapangan di pertandingan itu.
Dia menolak tawaran suap itu dan menjadi satu-satunya pemain yang menolak.
Bahkan, dia menuturkan kejadian suap tersebut kepada manajer Valenciennes kala itu, Boro Primorac di jeda turun minum.
Berkat aksi tersebut, Glassmann diberi penghargaan FIFA Fair Play Award di tahun 1995.
Setelah uang Robert ditemukan, kantor kepala Marseille langsung digeledah.
Dua belas pemain yang menuju Pyrenees untuk latihan langsung dibawa untuk dimintai keterangan sebagai saksi.
Tapie dan Eydelie dipenjara dengan tuduhan korupsi, sedangkan Robert, Barnes dan Burruchaga diberikan hukuman percobaan.
Baca juga: Stade Rennes: Mencoba Mendobrak Dominasi PSG di Perancis
Marseille Saat itu Adalah Skuad yang Sudah Hebat Tanpa Perlu Kecurangan
Skuad Marseille saat itu bukan sembarang kumpulan pemain sepak bola.
Selain gol, peran krusial Boli sebagai sweeper tidak bisa dipandang sebelah mata.
Empat pemain starting eleven final UCL 1993, yaitu Marcel Desailly, Didier Deschamps, Fabian Barthez dan Rudi Voller mengakhiri karir mereka dengan menjadi juara Piala Dunia.

Alen Boksic sebagai penyerang berhasil mengakhiri menjadi peringkat ke-4 dalam perebutan Ballon d’Or.
Peraih 3 kali pemain Afrika terbaik, Abedi Pele melengkapi 3 pemain depan yang sudah diisi oleh Alen Boksic dan Rudi Voller.
Tanpa suap pun, kemungkinan besar Marseille masih bisa mendapatkan 2 gelar tersebut karena memang kualitas para pemainnya.
Momen terbaik para pemain hebat tersebut dirusak oleh kerakusan dan tidak bermoralnya sang pemilik klub.
Dampak yang Timbul Akibat Aib Klub Tersebut
Tapie dilarang berkecimpung dalam sepak bola seumur hidupnya.
Marseille terdegradasi ke divisi 2 Liga Perancis kala itu di tahun 1994.
Gelar juara Ligue 1 milik Marseille musim itu dicabut dan tidak dianggap.
Namun, gelar juara Eropa milik Marseille masih berlaku.
Berkat itu, Marseille masih menjadi satu-satunya klub asal Perancis yang pernah menjuarai Champions League.
Wajar apabila Dimitri Payet sebagai pemain Marseille begitu bangga dengan sejarah klubnya.
PSG dengan segala sumber daya kapital belum mampu membuat sejarah seperti Marseille.
Dengan begitu, Payet dan para penggemar Marseille bisa dengan bangga mengucapkan a jamais les premiers yang berarti selamanya yang pertama.

Pingback: Perancis Singkirkan Juara Bertahan Portugal
Pingback: Belgia, Italia, Perancis atau Spanyol: Siapa yang akan menjadi Juara?
Pingback: Profil 8 Tim yang Terbuang dari Liga Champions ke Liga Eropa
Pingback: Derby Manchester Guardiola Bisa Tiru Cara RB Leipzig
Pingback: Didier Drogba Damaikan Perang Saudara Pantai Gading Melalui Sepak Bola
Pingback: Marseille Bisa Perbesar Peluang Juara Ligue 1
Pingback: Perancis Penghasil Pemain Sepak Bola Terbanyak di Piala Dunia
Pingback: Mohamed Simakan, Bek Tengah Muda Penuh Bakat