
Apa Itu Black Lives Matter?
Sabtu (5/12) lalu, pertandingan antara Millwall melawan Derby County di Championship Division di Inggris menuai kontroversi.
Sebelum pertandingan dimulai, beberapa fans Millwall menyoraki tanda tidak suka dengan berlutut untuk kampanye Black Lives Matter.
Sebenarnya, Black Lives Matter adalah sebuah organisasi yang dibentuk pada tahun 2013.
Organisasi ini didirikan karena pembebasan pelaku pembunuh Trayvon Martin.
Black Lives Matter Global Network Foundation, Inc adalah organisasi global di Amerika Serikat, Britania Raya dan Kanada yang bertujuan untuk memberantas supremasi kulit putih dan membangun kekuatan lokal untuk membela kekerasan yang diarahkan kepada komunitas kulit hitam dari negara atau warga.
Selain itu, BLM ini juga dijadikan wadah untuk komunitas kulit hitam untuk berkumpul, berkarya atau sekedar bersenang-senang.
Awal Mula Gerakan Black Lives Matter di Dunia Olahraga
Pada preseason NFL (National Football League, olahraga American Football) tahun 2016, ada yang sedikit berbeda kala itu.
Colin Kaepernick, pemain San Francisco 49ers melakukan gerakan berlutut saat pemutaran lagu kebangsaan Amerika Serikat sebelum pertandingan dimulai.
Ketika sudah 3 kali melakukan hal itu, tepatnya pada Agustus 2016, Kaepernick buka suara mengenai gesturnya.
“Aku tidak akan berdiri untuk menunjukan kebanggan terhadap negara yang menindas orang berkulit hitam dan berkulit warna. Bagiku, ini lebih besar dari football (American football) dan akan menjadi egois bagiku untuk tidak peduli. Ada banyak mayat di pinggir jalan dan pembunuhnya bisa lolos.”
Setelah Kaepernick, atlet NFL lain mulai banyak yang mengikuti, tidak terkecuali olahraga lain termasuk sepak bola itu sendiri.
Tahun 2020, Black Lives Matter Meledak Lebih Besar
Kasus brutalitas polisi di Amerika Serikat sudah menjadi rahasia umum bagi dunia.
Kaum minoritas yang dilihat dari suku, ras atau agama cenderung mendapatkan diskriminasi dari pihak berwenang.
Puncaknya adalah pada 25 Mei 2020.
George Floyd, seorang kulit hitam di Amerika Serikat dibunuh oleh polisi karena dituduh membayar rokok dengan uang polisi yang tidak terbukti benar.
Selama 8 menit, leher Floyd dicekik oleh polisi, Derek Chauvin, menggunakan lututnya, sampai Floyd meninggal.
Semenjak itu, Black Lives Matter semakin meledak di seluruh penjuru dunia.
Era pandemi virus corona di tahun 2020 ini sempat menghentikan kompetisi sepak bola, khususnya di Eropa.
Sekembalinya kompetisi sepak bola usai lockdown covid-19, mulai rutin diadakan gerakan berlutut sebelum pertandingan dimulai.
Bahkan, di kompetisi tertinggi di liga Inggris, Premier League, ada periode di mana semua pemain menggunakan nama “BLACK LIVES MATTER” di punggung mereka.
Upaya Penghapusan Diskriminasi di Dunia Sepak Bola
Kampanye meniadakan diskriminasi di dalam dunia sepak bola sudah diadakan di sepak bola, setidaknya di Inggris, sejak tahun 1993.
Let’s Kick Racism Out of Football, begitu bunyinya.
Gerakan itu dimulai atas respon dari banyaknya diskriminasi di sekitar dunia sepak bola kala itu.
Pada tahun 1997, organisasi yang menaungi gerakan ini didirikan, yaitu Kick It Out.
Organisasi tersebut bergerak di bidang sepak bola, edukasi dan komunitas untuk menghilangkan diskriminasi, mendorong praktik inklusif serta bekerja untuk perubahan yang positif.
Upaya untuk menghentikan diskriminasi masih terus dilakukan oleh sepak bola.
Mulai dari peraturan klub, liga atau yang lainnya.
Berangkat dari kampanye anti diskriminasi rasial, kaum minoritas lain mulai ikut untuk dibela.
Banyak kampanye atau organisasi yang membela hak-hak para kaum LGBT, disabilitas dan kepercayaan atau agama.
Premier League punya kampanye Rainbow Laces untuk kaum LGBT serta No Room For Racism untuk tindakan rasisme.
Gerakan Black Lives Matter yang Belum Berdampak Nyata
September lalu, QPR menolak untuk berlutut sebelum pertandingan melawan Coventry City dimulai.
“Berlutut itu sangat kuat secara makna namun saat ini kita merasakan dampaknya mulai berkurang,” jelas Ferdinand.
“Berlutut sudah ada di titik di mana hanya sebagai PR (Public Relation) yang bagus, tidak lebih dari itu” kritiknya.
“Pesannya sudah hilang. Saat ini justru lebih kepada hashtag yang mewah dan lencana pin yang bagus”.
Ferdinand merasa bahwa tidak ada dampak yang signifikan terhadap gerakan ini.
“Apa rencana kita dengan ini semua? Apakah semua orang akan senang untuk berlutut selama 10 tahun ke depan tanpa ada progres yang jelas? Berlutut tidak akan memberikan perubahan, aksi nyata akan.”
Tahun lalu, tim muda QPR membatalkan sebuah pertandingan ketika mereka melakukan tur ke Spanyol karena mereka kekerasan secara ras.
QPR membuat aduan secara resmi namun tidak ada yang diselesaikan dari situ.
“Apa yang media lakukan terhadap kasus itu? Bahkan tidak mendekati apa yang QPR dapatkan ketika tidak berlutut” katanya.
Kita semua sepakat bahwa diskriminasi dalam bentuk apapun harus dihentikan di seluruh aspek kehidupan.
Diskriminasi di sepak bola sudah acap kali terjadi.
Saat bertanding di stadion maupun di dunia maya sosial media, semua bisa terjadi.
Pada musim 2019-2020 kemarin saja, Kick It Out mencatatkan ada 540 kasus diskriminasi yang terjadi, naik 118 dari tahun sebelumnya.
Diskriminasi yang terjadi terkait disabilitas, gender, ras, kepercayaan serta orientasi seksual.
Kita bisa asumsikan bahwa pasti ada kasus diskriminasi yang tidak terlacak atau dilaporkan.
Memang betul, kampanye Black Lives Matter atau kampanye anti diskriminasi lainnya bisa meningkatkan awareness.
Namun, penolakan berlutut yang dilakukan Les Ferdinand beserta QPR juga masuk akal mengingat tidak ada dampak yang signifikan atau tindak lanjut.
Mendidik melalui edukasi mungkin adalah solusi jangka panjang yang perlahan dilakukan oleh banyak pihak yang terkait.
Jalannya masih panjang, namun sudah berada di jalan yang benar, setidaknya.
Pertanyaan selanjutnya adalah: apakah gerakan Black Lives Matter ini masih diperlukan di dunia sepak bola?
Untuk awareness memang masih perlu, namun dampaknya belum terlalu signifikan.
Apabila kampanye ini tidak diikuti dengan tindak lanjut yang nyata, bukan tidak mungkin 540 kasus terlapor di atas akan terus bertambah.

Pingback: Messi dan Ronaldo Kembali Bertemu Setelah 947 Hari
Pingback: Elang Ibu Kota Roma Siap Ulangi Sejarah 20 Tahun Lalu
Pingback: Jadwal Lengkap Champions League 2020-2021
Pingback: Didier Drogba Damaikan Perang Saudara Pantai Gading Melalui Sepak Bola
Pingback: Ajax Salah Satu Akademi Terbaik di Dunia
Pingback: Sam Allardyce Juru Selamat Klub dari Degradasi
Pingback: Andalan Baru Lyon Bernama Tino Kadewere
Pingback: UEFA Investigasi Laga FK Crvena Zvezda vs AC Milan Terkait Rasisme
Pingback: Laga Penentu Tiket Perdelapan Final Bagi Atletico dan Salzburg