Publik Sepak Bola Jerman “Sangat Membenci” RB Leipzig
RasenBallsport Leipzig adalah semifinalis Liga Champions Eropa yang baru berusia 11 tahun. Mereka bermain menyerang dengan penuh semangat, menarik untuk disaksikan, dan penuh dengan talenta muda berbakat.
Sebagai underdog, RB Leipzig adalah kisah Cinderella di era sepak bola modern. Meskipun begitu, ternyata mereka dibenci oleh publik sepak bola Jerman. Coba saja cari tentang sejarah RB Leipzig, sebagian besar akan menceritakan tentang betapa bencinya penggemar sepak bola Jerman akan klub ini. Dengan begitu, muncul pertanyaan: mengapa RB Leipzig begitu dibenci?
Jerman adalah tanah yang penuh dengan politik baik politik fans, politik ultras, maupun pemilik. Aturan 50+1 membuat para penggemar klub bisa menentukan nasib klub kebanggaannya sendiri. Tidak ada satu orang pun atau perusahaan yang bisa memiliki saham klub lebih dari setengah.
Namun, ada sedikit pengecualian. Bayer Leverkusen dan VfL Wolfsburg dibentuk sebagai klub pekerja dari para karyawan Bayer dan Volkswagen yang diperbolehkan oleh DFL (operator liga sepak bola Jerman). TSG Hoffenheim dimiliki oleh mantan pemain sepak bola muda dan pengusaha kaya raya lokal Dietmar Hopp, yang sudah diberikan izin untuk mengelola klub setelah berinvestasi besar-besaran.
RB Leipzig tidak termasuk dalam mereka semua. Faktanya, mereka tidak mengabaikan aturan 50+1. Mereka hanya saja tidak membiarkan siapapun menjadi anggota RB Leipzig.
Anda bisa saja menjadi anggota klub dengan membayar keanggotaan sampai 1.000 euro atau sekitar Rp17.000.000,- untuk menjadi gold member, tapi itu tidak membuatmu berhak memberikan suara untuk mengelola klub.
Pada tahun 2016 saat tahun pertama mereka berada di Bundesliga Jerman, RB Leipzig memiliki 17 anggota voting. Mereka semua adalah karyawan dari klub RB Leipzig. Red Bull memiliki ambisi yang jelas untuk membeli dan membuat branding ulang akan klub sepak bola di Jerman. Mereka ingin RB Leipzig menjadi klub sebesar mungkin dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Perusahaan minuman energi tersebut sudah mencoba untuk membeli St Pauli, 1860 Munchen, dan Fortuna Dusseldorf. Namun, para penggemar yang berada di meja kepengurusan menolak Red Bull di setiap kesempatan. Di Jerman, kesuksesan tidak bisa ditukar oleh sejarah dan tradisi.
Jadi, Red Bull membeli lisensi klub divisi 5 Liga Jerman, SSV Markranstadt, yang terletak di luar kota Leipzig. Kemudian nama, warna baju, lambing klub semuanya diganti. Voila! RB Leipzig hadir di kasta ke-5 di sepak bola Jerman.
Tapi kenapa RB Leipzig ini bisa ada? Apakah mereka ingin mencari uang sebanyak mungkin? Untuk sebagian besar, ini adalah tentang menang. Mereka ingin bermain di level yang lebih tinggi sehingga mereka bisa membuat banyak uang.
Tujuan puncak mereka adalah melihat brand Red Bull sesering mungkin. Memang betul Leipzig menang dalam sepak bola dan membuat komunitas terbaru. Namun, ketika mereka eksis, semua akan menjadi iklan untuk Red Bull. Tanya kepada banyak orang, ketika mereka mendengar RB Leipzig, apa kepanjangan dari RB? Sebagian besar akan menyebut Red Bull. Padahal, RB dalam RB Leipzig adalah RasenBallsport. Red Bull unggul dalam branding. Hal tersebut adalah keseluruhan tujuan dari kehadiran mereka dan tentu saja kesuksesan mereka. Untuk sepak bola Jerman, itu adalah hal yang buruk.
Angka Tidak Dapat Bohong, Begitu Pun Hati Para Fans Rival
Dalam hal pengeluaran atau spending untuk meraih kesuksesan, tentu saja Leipzig adalah bukan dongeng yang bisa diceritakan dengan indah.
Dalam 10 tahun terakhir, pengeluaran Leipzig berada di 187 juta euro atau sekitar Rp 3,2 triliun. Leipzig hanya berada di bawah Bayern Munich (330 juta euro atau sekitar Rp 5,7 triliun). Padahal, mereka baru 4 musim berada di Bundesliga Jerman. Dalam 5 musim terakhir, pengeluaran Leipzig (160 juta euro atau sekitar Rp 2,7 triliun) hanya berbeda sedikit dengan Bayern Munich (175 juta euro atau sekitar Rp 3 triliun).
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa kekuatan finansial Leipzig berasal dari sistem kepemilikan mereka. Red Bull membayar sebesar 35 juta euro atau sekitar Rp 608 miliar per musimnya agar logo Red Bull dipasang di baju RB Leipzig. Bandingkan dengan Borussia Dortmund yang diperkirakan hanya menerima sekitar 15 juta euro atau sekitar Rp 260 miliar dengan sponsor 1&1.
Akuisisi dalam dunia sepak bola baik di Inggris, Perancis, Spanyol, atau di mana pun asal tidak terlalu jauh dari norma sepak bola. Hal ini juga terjadi di Paris Saint-Germain. Menjadi sebuah anekdot tersendiri ketika melihat duel antara PSG dan RB Leipzig beberapa waktu yang lalu akan pertarungan ‘klub kemarin sore’. Selain PSG, bisa dilihat klub-klub semacam Manchester City, Malaga (walau gagal) dan lainnya yang diberikan suntikan dana segar. Bedanya, klub-klub tersebut sudah ada sebelum para miliuner ini datang. Leipzig tidak dan di situlah perbedaannya.
Yang jauh membuat lebih tragis adalah bahwa hal tersebut hadir di sepak bola Jerman di mana para fans jauh lebih dekat dan lebih banyak terlibat dalam penentuan arah klub dibandingkan liga-liga besar Eropa yang lain. Selain itu, Bundesliga Jerman terkenal sebagai liga top Eropa yang termasuk terjangkau dalam harga tiket.
RB Leipzig tidak sedikit menerima kritik dan protes dari banyak penggemar. Pada tahun 2016 ketika RB Leipzig bertemu dengan Dynamo Dresden, banyak kepala sapi yang dilempar ke pinggir lapangan sebagai bentuk protes. Belum lagi pada tahun 2019 di mana RB Leipzig sempat diboikot oleh para penggemar Union Berlin. Saat Union Berlin menjamu Leipzig, 20 ribu lebih fans Union Berlin yang memadati kandang Union Berlin hanya berdiam selama 15 menit awal, tidak ada atmosfer penonton. Mereka beranggapan bahwa ini adalah bentuk protes terhadap ketidaklayakan Leipzig berdiri. Selain dua hal tersebut, banner atau poster sudah banyak bertebaran ketika Leipzig bertanding.
Tanyakan kepada para penggemar St Pauli, 1860 Munich, dan Fortuna Dusseldorf tentang penolakan mereka dari Red Bull 10 tahun lebih yang lalu. Mereka akan berkata hal yang sama: klub akan mati karena jika hal itu terjadi. Kehadiran RB Leipzig sangat mengancam budaya kepemilikan oleh penggemar, hal yang sangat penting bagi para penggemar di Jerman.
Kepemilikan dengan model ini memungkinkan sebuah klub untuk mengeluarkan uang lebih banyak dan memenangkan persaingan. Akan tetapi, hal terpenting yang rusak adalah sepak bola itu sendiri, klub, dan suporter yang sangat berarti bagi para penggemar sepak bola di Jerman. Pantas saja RB Leipzig sangat dibenci.
Pingback: Sejarah Panjang Bayer Leverkusen yang Kini Mendunia
Pingback: Rapor Pemain Baru Premier League Inggris di Laga UEFA Nations League
Pingback: Mengapa Banyak Pemain Muda Amerika Serikat di Bundesliga Jerman?
Pingback: Transfer Deadline Bundesliga Jerman 2020
Pingback: Big Match UEFA Nations League: Perancis vs Portugal
Pingback: 10 Pemain Muda Terbaik di Bundesliga Jerman Musim 2020-2021
Pingback: Bundesliga: Dortmund Menguasai Derby, Bayern & Leipzig Menang
Pingback: 5 Alasan RB Leipzig akan Kalahkan Manchester United Malam Ini - Peluit Panjang
Pingback: Manchester United vs Arsenal: Duel Tim 'Big Six' di Papan Bawah
Pingback: RB Leipzig vs PSG: Ulangan Semifinal Champions League Musim Lalu
Pingback: Peluang Lolos 4 Tim di Grup H Liga Champions
Pingback: Derby Manchester Guardiola Bisa Tiru Cara RB Leipzig
Pingback: RB Leipzig Datangkan Dominik Szoboszlai
Pingback: Tanpa Lewandowski, Bisakah Neymar dan Mbappe Hancurkan Bayern?
Pingback: Marco Rose adalah Pelatih yang Tepat untuk Borussia Dortmund
Pingback: Bruno Jadi Kapten Melalui Zoom & Peluang United Lolos Grup Hanya 51%
Pingback: 5 Alasan Borussia Mönchengladbach akan Kalahkan Real Madrid