
Semua tim sepak bola di dunia memiliki strategi tersendiri guna mencapai target tertentu, tidak terkecuali Red Bull.
“Red Bull gives you wings”, begitu slogan mereka.
RB Leipzig, Salzburg, Bragantino, dan New York pun kini terbang tinggi.
Sejarah Berdiri Tim Sepak Bola Red Bull: Berawal Dari Thailand Hingga Dunia (1/2)
Sebelum menyentuh topik tim sepak bola Red Bull, ada baiknya kita mengetahui sekilas tentang brand yang satu ini.
Pada 1 April 1987, sebuah minuman energi berhasil masuk ke pasar untuk pertama kalinya di Austria.
Adalah Dietrich Mateschitz, pendiri sekaligus pemilik 49% saham Red Bull hari ini.
Kimi and Dietrich Mateschitz yesterday pic.twitter.com/8YRsIMopJ3
— Kimi Räikkönen #bwoah (@Kimi7iceman) July 31, 2017
Tahun 1982, Mateschitz yang saat itu bekerja untuk perusahaan pasta gigi asal Jerman, Blendax, sedang melakukan perjalanan bisnis ke Thailand.
Saat itu, ia meminum Krating Daeng yang berhasil menghilangkan jet lag akibat penerbangan dari benua Eropa ke Asia.
Momen itulah yang akhirnya membuat Mateschitz membuat perusahaan internasional dengan pemilik Krating Daeng, Chaleo Yoovidhya, bernama Red Bull GmbH ini berdiri.
Baik Mateschitz maupun Yoovidhya memiliki 49% saham, sedangkan 2%-nya dimiliki oleh Chalerm, anak dari Chaleo.
Krating Daeng sendiri memiliki arti “banteng merah”, sama seperti Red Bull.
Sementara itu, klub sepak bola pertama perusahaan ini adalah FC Red Bull Salzburg di Austria.
Sudah berdiri sejak 1933, klub SV Austria Salzburg harus berganti nama menjadi Red Bull Salzburg akibat akuisisi pada 2005.
Sontak hal itu membuat para penggemar klub marah.
Namun, setelahnya adalah kesuksesan: 11 gelar Liga Austria dalam 14 musim per 2006-2007.
Banyak pemain bintang lahir dari klub ini, sebut saja Kevin Kampl, Jonathan Soriano, Sadio Mane, Erling Haaland, Takumi Minamino, Patson Daka, Dominik Szoboszlai, Dayot Upamecano, Hwang Hee-chan dan masih banyak lagi.
Per Desember 2011, Red Bull Salzburg membeli klub divisi 2 Liga Austria, USK Anif dan mengubah namanya menjadi FC Liefering.
Klub itu menjadi tim cadangan bagi Red Bull Salzburg dan tidak bisa promosi ke divisi 1 Liga Austria.
Sejarah Berdiri Tim Sepak Bola Red Bull: Berawal Dari Thailand Hingga Dunia (2/2)
Kemudian, klub kedua yang berdiri adalah New York Red Bull sejak 2006, klub yang mereka beli adalah New Jersey MetroStars.
Meskipun kiprahnya di MLS terbilang cukup baik, namun mereka belum pernah juara playoff.
Deretan bintang yang pernah hadir di klub itu adalah Thierry Henry, Bradley Wright-Phillips, Juan Pablo Angel, Tim Cahill, Rafael Marquez dan Claudio Reyna.
Five seasons and so many memories. What’s your favorite @ThierryHenry moment?#TH14#REDTogether#RBNY pic.twitter.com/7qaITQae98
— New York Red Bulls (@NewYorkRedBulls) August 17, 2016
New York Red Bull tampil cukup kompetitif dan beberapa kali tampil di CONCACAF Champions League.
Tiga tahun kemudian atau pada 2009, RB Leipzig berdiri dan mengawalinya dari divisi 5 Liga Jerman.
Adalah klub SSV Markranstädt yang berubah nama menjadi RB Leipzig.
Seperti yang kita tahu, kini RB Leipzig adalah salah satu klub besar di Jerman, bahkan Eropa dan dunia.
Terbaru, tepatnya 2 tahun lalu (2019), Red Bull mengepakkan sayapnya ke Brazil.
Pada 2019, Clube Atletico Bragantino berhasil Red Bull beli.
Barulah pada tahun depannya, nama klub berubah menjadi Red Bull Bragantino.
RB Bragantino kini berlaga di Serie A, divisi teratas Liga Brazil.
Selain itu, ada pula, Red Bull Brasil, tim akademi dan cadangan dari RB Bragantino, sudah perusahaan ini miliki sejak 2007.
Sebetulnya, pernah ada klub Red Bull Ghana, namun harus tutup pada 2014 pada usia 6 tahun karena tim itu nampak seperti akademi saja.
Strategi Tim Sepak Bola Red Bull di Seluruh dunia (1/2)
“Red Bull gives you wings”, begitu slogan dari perusahaan ini.
Minuman energi ini mengepakkan sayapnya lebar-lebar ke dunia olahraga demi menjaga keberlangsungan perusahaan.
Selain sepak bola, Red Bull memiliki tim Formula 1 dan Hoki Es.
⚡️Kamila Valieva (RUS) has signed a contract with the Formula 1 team Red Bull Racing. pic.twitter.com/oX7neqnRBX
— kimi🥝³³ (@kostocrown) December 6, 2021
Selain Team Ownerships, Red Bull juga memiliki Media Production, Broadcasting dan Contract Management sendiri.
Kemudian, mereka juga menyelenggarakan puluhan bahkan mungkin ratusan acara olahraga.
Mulai dari balapan motor, skateboard, marathon, eSport, dan masih banyak lagi.
Red Bull menyadari bahwa menjual minuman saja tidak cukup, sehingga harus mulai melakukan investasi di tempat lain.
Olahraga menjadi target utama dari perusahaan ini.
Aktor penting dari strategi tim sepak bola Red Bull di seluruh dunia adalah Ralf Rangnick.
Mantan direktur sepak bola seluruh tim Red Bull sedunia ini membangun fondasi yang kuat untuk perusahaan.
Pertama, klub sangat mengedepankan orang-orang berkompeten di semua posisi, mulai dari staff, pemain, pelatih, dan lainnya.
Kompetensi itu juga berbarengan dengan kaidah saintifik yang berlaku sehingga tidak jauh berbeda dengan moneyball, pendekatan segala sesuatu yang berlandaskan data dan statistik.
Hal di atas tentunya juga akan memengaruhi perekrutan pemain untuk setiap tim.
Strategi Tim Sepak Bola Red Bull di Seluruh dunia (2/2)
Kemudian kedua, setiap klub Red Bull sangat mengedepankan perekrutan pemain yang berusia di bawah 23 tahun.
Pada rentang usia itu, atlet termasuk dalam kategori muda, sehingga sebagian besar fisik dan tubuhnya bisa melakukan recovery atau pemulihan dalam waktu singkat setelah bertanding atau cedera.
Berbanding terbalik dengan pemain yang lebih tua, mereka akan lebih rentan cedera dan memiliki masa pemulihan yang lebih lama.
Lalu terakhir ketiga adalah pola permainan gegenpressing.
Semua klub sepak bola Red Bull memiliki 1 filosofi yang sama, yaitu gegenpressing.
Secara garis besar, gegenpressing berpegang teguh pada aturan 8 detik dan 14 detik.
Dalam 8 detik, tim harus sudah bisa merebut kembali bola dari lawan.
Apabila tidak berhasil, tim tetap harus melakukan pressing atau menekan lawan di daerah mereka sendiri dengan intensitas tertentu.
Kemudian, apabila bola sudah berhasil tim rebut, maka dalam 14 detik selanjutnya, tim sudah harus bisa melepaskan tembakan.
Apabila belum berhasil, tim akan terus berusaha melakukan banyak operan kombinasi 2 orang, yang akan berakhir dengan operan terobosan kepada orang ke-3 yang melakukan lari di belakang lawan.
Gaya bermain tersebut membutuhkan fisik yang memadai, sehingga tidak sembarangan pemain bisa cocok.
Ralf Rangnick memang kini sudah pindah ke Manchester United, namun warisan permainannya akan tetap abadi di Red Bull.
Lihat postingan ini di Instagram
Tidak heran apabila Red Bull Salzburg di Austria sering juara serta menghasilkan banyak keuntungan dari penjualan pemain.
Alumni Red Bull Salzburg sebut saja Sadio Mane, Erling Haaland, Naby Keita, Dayot Upamecano, Patson Daka, Dominik Szoboszlai, Hwang Hee-chan, Takumi Minamino dan masih banyak lagi.
Menurut data Transfermarkt, sejak awal Red Bull Salzburg berdiri, mereka sudah menghasilkan keuntungan bersih sekitar 355 juta euro atau sekitar Rp 6,7 triliun dari transfer pemain saja.
Pendapatan itu belum termasuk dari sponsor, hadiah kompetisi, hak siar, dan lainnya.
Sementara itu, New York Red Bull tidak menghasilkan keuntungan sebesar Salzburg, begitu pula Leipzig, apalagi Bragantino, ‘adik’ paling muda.
Tentang RB Leipzig, Klub Paling Dibenci di Jerman (1/2)
RB Leipzig berdiri pada 19 Mei 2009 setelah mengambil alih SSV Markranstädt.
Proses pembelian tim sepak bola di Jerman dari Red Bull sebetulnya sudah berjalan sejak 2006, namun mengalami banyak penolakan dari berbagai penggemar klub lain.
Nächster Protest gegen RB Leipzig. #FCARBL #Bundesliga https://t.co/UB1XWX8cAG pic.twitter.com/hdqB3fWpmR
— SPORT1 (@SPORT1) March 4, 2017
Red Bull dinilai oleh publik Jerman ingin merusak tatanan sepak bola yang sudah ada di sana.
Mereka sudah pasti ingin mengganti identitas suatu klub, mulai dari nama, logo, warna seragam dan mengakali peraturan 50+1.
Untuk klub Leipzig yang satu ini, RB memiliki arti RasenBallsport atau dalam bahasa Indonesia, “olahraga bola rumput.” Sungguh kreatif dalam mengakali sistem, yang penting ada inisial Red Bull, yaitu RB di nama klub.
Secara tidak resmi pun, tim ini bisa juga disebut Red Bull Leipzig.
RB Leipzig memulai kompetisi dari divisi 5.
Delapan musim dan empat promosi kemudian, mereka akhirnya berada di Bundesliga, divisi 1 Liga Jerman, per 2016-2017.
Runtutan promosi tersebut datang bukan tanpa sebab, melainkan kehebatan sistem klub yang sangat berkelanjutan seperti yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya tentang strategi perekrutan pemain Red Bull dan lain-lain.
Kehebatan klub berjuluk Die Roten Bullen juga terpancar dari prestasi mereka di Bundesliga: selalu masuk ke zona Eropa sejak promosi ke Bundesliga sampai musim ini.
Leipzig sendiri sebagai bagian dari eks negara Jerman Timur merupakan salah satu kota terhebat di zaman dahulu kala dari segi prestasi sepak bola, sebelum reunifikasi Jerman.
Namun, setelah Jerman Timur dan Barat bersatu, kota Leipzig dan Jerman wilayah Timur pada umumnya, mengalami penurunan prestasi yang sangat anjlok ketimbang wilayah Barat di Bundesliga.
Oleh karena itu, sebagian besar warga Leipzig menyambut baik investasi Red Bull di klub mereka.
Meskipun begitu, penolakan dan kebencian justru datang dari banyak wilayah lain di Jerman.
Protes damai maupun yang rusuh pun kerap terjadi.
Mereka menganggap bahwa Red Bull telah merusak tradisi sepak bola Jerman, yaitu aturan “50+1”.
Aturan 50+1 sendiri merupakan ketentuan kepemilikan sebuah klub sepak bola Jerman yang melarang seseorang atau sebuah perusahaan memiliki saham mayoritas.
Tentang RB Leipzig, Klub Paling Dibenci di Jerman (2/2)
Peraturan tersebut membuat semua klub Jerman tidak bisa berbuat sewenang-wenang terkait transfer pemain, pembangunan klub atau kegiatan lainnya.
Berkat aturan itu juga, suporter selalu dilibatkan dalam keputusan klub.
Oleh karena itu, protes berjalan karena rasa ketakutan andai RB Leipzig bisa mendapatkan prestasi secara instan dengan cara mendatangkan banyak pemain bintang.
Akan tetapi, hal itu urung terjadi karena peraturan 50+1 ini masih ada.
Namun, RB Leipzig mengakali 50+1 itu dengan culas.
Semua atau 7 orang pemegang saham dari Die Roten Bullen adalah karyawan dari Red Bull, per klub itu berdiri pada 2009.
Meskipun begitu, Mateschitz dan Rangnick sendiri pun sudah pernah menekankan bahwa mereka bukan klub-klub besar pada umumnya yang membeli bintang yang sudah jadi.
Hal itu terbukti dari tradisi RB Leipzig yang lebih gemar mendatangkan pemain muda potensial yang masih setengah matang.
Kemudian, klub akan mendidik sedemikian rupa para pemain muda ini supaya menjadi hebat pada masa depan.
Lihat saja nama-nama seperti Naby Keita, Timo Werner, Dayot Upamecano, Ibrahima Konate, Matheus Cunha, Marcel Sabitzer, Joshua Kimmich, dan masih banyak lagi serta akan terus bertambah.
Wie du mir, so ich dir …!
⚽ #Werner ➡️ #Keita ➡️ 🥅
⚽ #Keita ➡️ #Werner ➡️ 🥅Gegen den @FCBayern war unser Angriffs-Duo wieder in 🔝-Form! #RBLFCB #StarkesDuo #TW11 #NK8 pic.twitter.com/Lt6rCEpQvp
— RB Leipzig (@RBLeipzig) March 20, 2018
Semua strategi Red Bull untuk tim sepak bola mereka di seluruh dunia memang terbilang radikal dan beresiko.
Terbilang radikal karena dalam beberapa tahun saja, klub-klub ini sudah bisa sukses dengan parameternya tersendiri, baik dari membentuk pemain, mendapatkan profit tinggi, tampil di kompetisi Eropa, mendapatkan trofi atau yang sudah pasti, meningkatkan brand awareness terhadap Red Bull.
Kemudian, resikonya pun juga terbilang tinggi: berpotensi melanggar peraturan yang sudah ada dan mengundang protes dari banyak pihak.
Namun, seperti prinsip investasi pada umumnya, setiap risk yang Red Bull hadapi, ada return tertentu yang bisa datang.
Sejauh ini, para pelaku sepak bola dari perusahaan minuman energi ini, bisa tersenyum penuh tenaga dari titik yang sudah mereka capai.
