Transisi Tidak Mulus dari Arsene Wenger ke Manajer Penerus
Arsenal terancam tidak bisa bermain di kompetisi Eropa musim depan karena banyaknya pasang surut yang mereka alami musim ini.
Ketika The Gunners terbuang dari Champions League ke Europa League, banyak orang masih meyakini mereka akan bangkit dengan mudah.
Arsenal berada di puncak klasemen Premier League pada Desember 2016 ketika Arsene Wenger menjalani musim terakhirnya di London Utara.
Tragisnya, Arsenal harus menyelesaikan musim berjarak 1 poin dari 4 besar, zona Champions League.
Meskipun Arsenal turun dari peringkat 2 ke peringkat 5 di liga pada musim 2016-2017, sebenarnya mereka meraih 4 poin lebih jika dibandingkan dengan musim sebelumnya.
Akan tetapi, itu kejadian 4 tahun lalu.
Alih-alih mengincar 4 besar, realitanya Arsenal terancam bahkan tidak bisa lolos ke Europa League musim depan.
Misi Sulit Menuju Kompetisi Eropa Musim Depan
Mereka membutuhkan rentetan kemenangan yang banyak untuk bisa kembali ke Champions League musim depan.
Secercah harapan masih ada untuk Arsenal jika dilihat dari bagusnya penampilan mereka di Europa League musim ini.
Memang betul Arsenal meraih hasil imbang 1-1 melawan Slavia Praha dalam babak perempat final leg pertama di Emirates, namun peluang-peluang yang mereka ciptakan sangatlah berkualitas tinggi.
Dari situ, Arsenal tidak perlu khawatir karena gol akan datang dengan sendirinya apabila sudah terus menerus menciptakan peluang bagus.
Apabila Arsenal lolos, mereka akan bertemu pemenang antara Villarreal atau Dinamo Zagreb di semifinal sehingga berpeluang masuk ke final dan juara untuk pertama kalinya di kancah Eropa sejak terakhir kali terjadi tahun 1994.
Juara Europa League akan menjamin 1 tempat di Champions League musim depan.
Meskipun, melihat dari konsistensi Arsenal musim ini, mereka tidak pantas berada di kompetisi tertinggi di Eropa tersebut.
Dalam 6 pertandingan Premier League melawan Aston Villa, Burnley, atau Wolves dan di musim ini, mereka tidak bisa menang sama sekali.
Sulit rasanya untuk bisa bersaing melawan Bayern Munich, Paris Saint-Germain atau Real Madrid di Champions League.
Pasang Surut Mikel Arteta di Arsenal
Masa depan Mikel Arteta di Arsenal masih menjadi tanda tanya besar.
Kredit harus diberikan kepada Arteta karena sejak mengambil alih kursi manajer di Desember 2019, kondisi perlahan mulai membaik dilihat dari banyaknya pemotongan gaji para pemain di masa pandemi covid-19.
Terlebih lagi, Arsenal berhasil menjuarai FA Cup setelah sepak bola sempat dihentikan.
Tidak kalah banyak dengan pasang, surut kehidupan Arsenal musim ini juga bukan sedikit.
Pertahanan rapuh adalah masalah utama Arsenal, meskipun baru saja tidak kebobolan melawan Sheffield United yang sudah hampir bisa dipastikan terdegradasi, namun The Gunners sering kebobolan melalui bola mati dan kesalahan para pemain di lini belakang.
Sama buruknya dengan pertahanan, lini serang Arsenal juga memiliki banyak masalah.
Bibit-bibit dari penurunan sudah terlihat lebih dari 1 tahun yang lalu.
Musim lalu, Pierre-Emerick Aubameyang masih bisa mencetak banyak gol, namun musim ini dirinya terlihat sangat menurun dari segi produktivitas.
Kalau Aubameyang sedang tidak dalam performa terbaiknya, itu bukan salah Arteta, namun sang manajer gagal menyiapkan rencana lain untuk tidak terlalu mengharapkan penyerang yang sudah berusia 30 tahun tersebut.
Keras kepala adalah masalah utama dari Arteta.
Timnya jelas tidak memiliki kemampuan untuk bermain operan pendek dari lini belakang, namun Arteta tetap bersikukuh melakukannya.
Timnya juga kekurangan kreativitas, namun mengabaikan Mesut Ozil sang playmaker andalan selama bertahun-tahun.
Arsenal terlihat lebih baik dengan kehadiran Emile Smith Rowe dan Martin Odegaard yang baru dipinjam bulan Januari ini.
Willian yang jarang bermain bagus masih terlalu sering dimainkan musim ini.
Gabriel Martinelli jarang dimainkan meskipun memiliki musim pertama yang bagus di Inggris.
Selain dari kebijakan pemilihan pemain yang membingungkan serta preferensi bermain dari belakang, namun Arsenal memiliki masalah yang lebih besar: tidak memiliki rencana.
Tempo bermain Arsenal terlihat sangat lambat dan terlalu sering membuang peluang-peluang.
Terkadang, Arsenal memulai pertandingan dengan bagus dan mengakhirinya dengan buruk.
Selain contoh pertandingan melawan Slavia Praha, lihat saja ketika mereka menang 2-1 melawan Tottenham Hotspur.
Sepanjang pertandingan, Arsenal mengontrol pertandingan, namun, ketika Erik Lamela mendapatkan kartu merah, malah justru Arsenal yang terlihat seperti bermain dengan 10 orang.
Arteta layak disalahkan untuk ini karena Arsenal terlalu sering tidak ambisius dan senang untuk membiarkan lawan menguasai wilayahnya, ketimbang menguasai pertandingan.
Setiap kekalahan, Arteta selalu berkata di depan kamera televisi dengan menyebut performa para pemainnya “tidak bisa diterima.”
Akan tetapi, hari demi hari, pertandingan demi pertandingan, dia selalu melakukan hal serupa.
Antara apakah pesan yang dimaksud tidak tersampaikan dengan jelas atau bagaimana, yang jelas Arsenal masih terlalu sering mengulangi mediokritas serupa setiap pertandingannya.
Arteta bisa saja menjadi manajer hebat.
Arteta datang di usia yang sangat muda, serta kondisi Arsenal yang tidak baik-baik saja saat itu, ditambah dengan pandemi covid-19, maka semakin sulit ujian yang dihadapinya.
Alih-alih membuat tim menjadi lebih baik, Arsenal justru terlihat lebih buruk.
Menjuarai Europa League akan menjamin 1 musim di Emirates, namun mereka harus memutus penampilan buruk dan mulai memenangkan banyak pertandingan.
Pingback: Batal Bergabung ke Liga Super Eropa, Sepak Bola Italia Terancam Mati
Pingback: Prediksi Pires Villarreal Arsenal, Mantan Pemain 2 Klub, Unggulkan Siapa?
Pingback: Daniel Ek: Bos & CEO Spotify, Fans The Gunners yang Ingin Beli Arsenal